Cerpen Melepas Rindu—Oleh : Li



"Kakak mau ke mana?"


"Ada keperluan sebentar, Dek."


"Adek gak boleh ikut?"


"Kapan-kapan, ya? Untuk sekarang Kakak harus sendiri, kamu tunggu rumah. Jangan ke mana-mana, takutnya Ibu pulang nanti."


"Iya, Kak. Kakak hati-hati, ya. Nanti pulangnya bawain adek Ayam geprek paling pedes, ya!"


***


Dengan cangkul kecil di tangan kiri, caping berwarna orange menutup kepala, juga tas dari karung goni di lengan kanan, aku melangkah dengan pasti. Menyunggingkan senyum dan menikmati mentari menyapa dengan indahnya, lalu kicau burung yang menjadi melodi perjalanan, dan lengkingan wanita paruh baya dari beberapa rumah yang menyeru nama anak-anaknya pun suami. Sesekali juga menyapa orang-orang yang berpapasan.


Lima belas menit berjalan, akhirnya aku sampai di sebuah gubuk pinggir sungai. Meletakan karung goni di dalam sana dan beralih ke petakan tanah yang tertanam pohon jagung. Lalu, mulai membersihkan rumput liar dengan cangkul kecil yang kubawa. Sesekali menyeka keringat saat mentari mulai meninggi.


"Mat, sini rehat dulu!" Seruan dari pemilik petakan tanah ini membuatku berhenti.


"Sebentar, Bu, selesaikan barisan ini dulu, tanggung!" Aku membalas dengan teriakan juga.

"Jam berapa tadi kamu berangkat, Mat?"


"Kayak biasa, Bu. Jam setengah enam dari rumah," balasku, dengan tangan sibuk menata rantang yang di bawa Bu Marwah—pemilik tanah.


"Besok bisa lebih awal lagi, gak? Biar sebelum dhuhur sudah selesai dan bisa bantu ibu masak." Aku mengernyit. "Putra ibu yang kerja di kota besok pulang, bawa anak serta istrinya. Nah, kebetulan anaknya belum diaqiqah, jadi mau aqiqah di sini. Kira-kira sanggup, gak?" lanjut Bu Marwah.


Aku tersenyum sebelum menjawab, "Insyaallah sanggup, Bu. Lagian yang dibersihin juga tinggal sedikit. Malah niatnya hari ini mau aku selesaikan."


"Jadi besok sudah selesai?" tanya Bu Marwah.


"Iya, Bu."


"Alhamdulillah, ya, sudah sekarang kita makan dulu, ya. Kamu bawa nasinya, toh?" Aku mengangguk, lalu mengambilkan nasi juga lauk untuk Bu Marwah.


Kami makan dengan hikmat, tidak ada obrolan sama sekali. Hingga usai makan, kami pun tak lagi mengobrol. Sebab, kata Bu Marwah suaminya sudah mengirim pesan, memintanya untuk pulang.


***


Seperti yang telah kukatakan pada Bu Marwah kemarin, kini aku sudah berada di kediaman keluarga Bapak Samsudin. Tak banyak basa-basi, hanya salam dan setelahnya langsung ke dapur. Namun, langkahku terhenti di ambang pintu yang memisahkan dapur dengan ruang tengah. Netraku menatap lekat sosok wanita yang sedang fokus dengan bumbu dapur. Perasaanku campur aduk ketika yakin siapa wanita itu, hingga air mata tak bisa kubendung.


"Mat?!" Panggilan yang di sertai tepukan pada pundak membuatku tersadar. "Kenapa berhen–kamu menangis? Ada apa, Mat?"


"Ah, tidak, Bu. Maaf," balasku langsung menghapus air mata.


"Siapa, Bu?" tanya wanita itu membuatku menekuk alis dalam.


"Dia Matahari," balas Bu Marwah, "Matahari dia Lily, suami putraku."


Kami tersenyum, tapi bukan ini yang kuinginkan. Kenapa begini? Bukankan harusnya kami berpelukan? Saling melepas rindu dan lainnya? Tapi—


"Matahari, kamu tinggal di mana?" Lagi, aku menegang mendengarnya.


"Di rumah ujung jalan sana, Kak." Aku tetap menjawab, meskipun rasa tak enak di hati hadir. "Kakak berubah? Kakak lupa aku?" tanyaku dalam hati.


"Orang tuamu tidak ikut ke sini? Em, saudaramu juga mungkin?" Aku hanya tersenyum. Namun, mata memanas.


*

Aku memandang kepergian Kakak dengan senyuman. Lalu, melangkah menuju halaman belakang. Bermain di sana seorang diri, dengan berbekal daun pisang, pelepah pisang, air, sendok, juga tanah. Aku dengan riang membuat kue-kue dengan bentuk sesuai keinginanku. Hingga sore menjelang, tetapi Kakak tak kunjung kembali. Aku yang merasa lelah dan lapar pun masuk rumah, membuka tutup saji, lalu segera melahap nasi dan tahu yang ada di piring.


"Kakak kenapa belum sampai juga, ya?" gumamku setelah usai makan.


.


"Kakak! Kakak! Apa kau sudah pulang? Kenapa tidak memanggilku?"


Aku berteriak saat bangun dan sadar jika hari sudah pagi. Namun, tak ada balasan dari Kakak. Kamarnya pun kosong dan di belakang rumah juga tidak ada.


Mengabaikan perut lapar dan juga bau badan, aku melangkah keluar. Tujuanku sekarang adalah kebun singkong milik Haji Darman. Karena biasanya Kakak akan membantu istri Haji Darman memetik daun singkong sebelum berangkat ke sawah.


"Kakak!" Aku memanggil begitu sampai di sana.


"Loh, Matahari? Kakak kamu gak di sini, loh. Ibu juga nunggu dia dari tadi," balas Bu Darman yang ternyata sudah selesai memetik.


"Iya?" Aku menelengkan kepala, lalu kembali bertanya, "Lalu di mana Kakakku?"


Bu Darman hanya menggeleng, membuatku berlalu dari sana.


 Sekarang, kakiku melangkah menuju sawah peninggalan Bapak. Namun, lagi-lagi aku tidak menjumpai Kakak.

*


Satu tahun, dua tahun, tiga tahun, hingga lima tahun berjalan, aku tak pernah melihat sosok Kakak lagi. Namun, kini aku bisa melihatnya. Dia, wanita berjilbab hitam yang masih sibuk dengan bumbu dapur adalah kakakku. Ya, aku yakin itu.


"Mat, ikut ibu sebentar, yuk? Itu biar Bu Neni saja yang selesaikan." Lagi, ucapan Bu Marwah menyadarkanku.


Aku mengikuti langkahnya dalam diam. Ternyata beliau membawaku ke salah satu kamar di rumah ini.


"Mat, dengarkan ibu baik-baik, ya." Aku mengangguk, meskipun belum mengerti.


"Lima tahun lalu, putraku melakukan perjalanan bisnis untuk pertama kalinya. Namun, nahas saat di pertigaan desa, ia mengalami kecelakaan. Mobilnya yang berniat menghindari truk justru malah tak terkendali dan menabrak tembok pembatas. Tembok itu roboh menimpa wanita yang tengah berdiri di balik tembok itu, entah sedang apa. Mereka segera dilarikan ke rumah sakit. Namun, karena di desa tidak sebaik rumah sakit kota, maka mereka di bawa ke sana. Dua tahun kemudian, wanita itu sadar koma, tetapi dia kehilangan ingatannya. Karena tidak ada tanda pengenal pada wanita itu, putraku memutuskan membantunya sebagai bentuk rasa bersalah hingga cinta tumbuh di antar mereka." Aku diam, masih mencerna maksud Bu Marwah.


"Mat, apa kamu kenal Lily? Mungkin saja dia berasal dari sini. Karena lokasi tembok pembatas itu tak jauh dari desa ini. Tadi Lily juga kesakitan, dia bilang seperti pernah ke sini. Jadi, kau kan lama tinggal di sini, mungkin saja kau tau."


"Iya, aku sangat mengenalnya," balasku.


"Sungguh? Di mana rumahnya? Siapa keluarganya?"


"Iya, rumahnya di ujung jalan sana. Ayahnya sudah meninggal delapan tahun lalu. Katanya, setelah ayahnya meninggal, ibunya pergi entah ke mana. Meninggalkan dia dan adiknya yang berusia delapan tahun. Dua tahun berjalan, semua baik-baik saja sebab dia meneruskan sawah peninggalan sang Ayah. Namun, di akhir tahun ke dua dia pergi. Meninggalkan adiknya seorang diri, membiarkan adiknya hidup bergantung dengan kebaikan tetang–ga."


Aku berhenti, napasku tercekat. Rasanya bongkahan batu menghantam kembali hatiku. Air mata tak lagi terbendung, lamat-lamat isak mulai keluar.


"Mat, siapa adiknya?" tanya Bu Marwah, lalu menarikku dalam dekapannya.


"Dia—" Ucapanku terputus, begitu bunyi benda berjatuhan terdengar.


Aku dan Bu Marwah segera melihatnya.


"Lily sayang, kenapa, Nak?"


"Matahari Jingga?" Aku terkejut. "Maaf ... maafkan Kakak. Kakak—"


Mendengar itu, tanpa pikir panjang aku langsung mendekapnya. Menyalurkan rindu yang selama ini tak terlepaskan dan membiarkan tangis mewakili emosi.


***

TAMAT


Lingga, 18 Oktober 2021



Komentar